
ZONALINENEWS – OELAMASI, Tujuh suku besar di Kecamatan Taibenu dan Kupang Timur Kabupaten Kupang minta TNI – Ungkata Udara (AU) mengakui Bandara El – Tari Kupang adalah tanah ulayat adat milik ke tujuh suku. Ke tujuh suka yang terdiri dari Suku Humau, Suku Nifu, Suku Takubu, Suku Saba’at, Suku Omet, Suku Bani dan Suku Lael juga meminta TNI – AU mengembalikan tanah ulayat adat yang tidak digunakan saat ini dan TNI – AU harus ada negosiasi yang jelas atas kejelasan tanah ulayat tersebut. “Kami ke tujuh suku ini hanya minta ada pengakuan saja dari TNI – AU. pasalnya, tanah dengan luas 543 hektar ini adalah tanah milik nenek moyang kami sejak 500 tahun yang lalu, “ungkap Kepala Suku Humau Alex Humau kepada wartawan di rumah tua Suku Humau Desa Baumata Timur Kecamatan, Kecamatan Taibenu Kabupaten Kupang dalam acara pertemuan penyataan kronologis ke tujuh suku besar dangan Komnas HAM RI terkait ahliwaris tanah Bandara El – Tari, Sabtu 25 Apri 2015 pukul 11.30 wita.
Menurut Alex, sejak Indonesia merdeka tahun 1945 tanah ini dihibahkan oleh ke tujuh suku yang masih ada ikatan persaudaraan kawin mawin ini ke Pemerintah Hindia belanda hanya untuk pinjam pakai sementara saja bukan seterusnya.
Dikatakan, ketika tahun 1969 Pemerintah Daerah pada waktu itu memberikan tanah ulayat ini kepada TNI – AU sehingga, pada tahun 1983 Pemerintah membuat sertifikat tanah milik TNI – AU hanya sepihak karena pembuatan sertifikat ini tanpa sepengetahuan kami ke tujuh suku yang sebenarnya adalah ahli waris tanah ulayat tersebut. “Pengambilan alih tanah ulayat kami atau sabotase tanah kami sudah sejak 40 tahun yang lalu. Dan terbukti dari dulu hingga saat ini masalah ini tidak bisa diselesaikan oleh Pemerintah Provinsi NTT maka dari itu masalah diadukan ke Komnas HAM .
“Biar Komnas HAL yang mengurus semua masalah ini, “kata Alex.
Alex mengatakan, Pernyataan sikap secara tertulis yang dibuat oleh ke tujuh suku , nantinya akan di baca di hadapan Tim Komnas HAM , Dan pernyataan sikap ini juga akan ditanda tangan di atas materai oleh perwakilan ke tujuh suku lalu berkas di serahkan kepada Komnas HAM pada saat pertemuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua Komnas HAM RI Nur Kholi mengatakan, kasus ahli waris kepemilikan tanah dialami ke tujuh suku ini adalah masih dalam dugaan pelanggaran HAM belum masuk dalam kasus besar pelangaran HAM. Kasus seperti ini sering kami tangani, dan kasus secamam ini banyak terjadi di negeri ini karena di Indonesia dengan masalah seperti ini masih mengadopsi dua aturan hukum, yaitu hukum Nasional dan hukum adat, dimana hukum Nasional pembuktian harus mengunakan sertifikat. Sedangkan hukum adat sendiri tidak membutuhkan sertifikat.
“Dengan persoalan dialami ke tujuh suku ini pihaknya akan terus memperjuangkan dan bukan menghindar dengan masalah adat, karena apabila sudah terima untuk dilantik menjadi anggota Komnas HAM apapun masalahnya harus dihadapi, “katanya.
Dikatakan, terkait rekomendasi yang diberikan ke tujuh kepada Komnas HAM, maka Komnas HAM akan bekerja keras menyelesaikan masalah ini .
“Masalah saat ini yang di butuhkan oleh ke tujuh suku ini melakukan mediasi dengan mengurus semua masalah ini dengan baik agar lebih jelas. Maka dari itu sebelum team Komnas HAM ke tempat pertemuan, pihaknya sudah melakukan pertemuan antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten Kupang dan pihak TNI – UA di ruang Sekertaris Daerah (Sekda) Provinsi NTT. Hasil dari pertemuan tersebut, dalam waktu dekat ini Pemerintah Provinsi NTT bisa mengatur waktu untuk pertemuan lagi antara perwakilan dari ke tujuh suku bersama, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten Kupang, pihak TNI – AU dan Komnas HAM sendiri agar masalah ini bisa cepat diselesaikan, “ungkapnya.
Ia berharap, semua masyarakat dari ke tujuh suku ini bisa bekerja sama dan berdoa, karena dirinya yakin tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. “Kasus ini hanya bisa diselesaikan dengan cara penyelidikan dan semua sudah lakukan. Kedepan pihaknya melakukan mediasi duduk bersama, karena semua warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama, “jelasnya. (*hayer)