*Pengeloan Ekonomi Daerah di Era Otonomi Daerah
Zonalinenews-Kupang, Direktur Utama Bank NTT, Daniel Tagu Dedo mengatakan kita harus akui bahwa proses pembangunan ekonomi daerah di era otonomi daerah yang sedang berlangsung di Indonesia memang masih ada banyak kelemahan, namun ini adalah konsekuensi dari upaya untuk memberdayakan masyartakat di daerah. Ke depan yang diperlukan adalah konsistensi dari pemerintah pusat untuk membimbing ke arah pembinaan atau pengembangan regulasi otonomi yang memberdayakan manusia di daerah dengan regulasi yang yang lebih memberikan peluang bagi daerah untuk mengelola ekonomi daerah secara bertanggungjawab, berkelanjutan dan tetap menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan hidup untuk masa depan anak cucu kita.
“Saya percaya bahwa Provinsi NTT sebagai gerbang Timur Ekonomi Indonesia di masa depan, jika diimbangi dengan kebijakan politik untuk pengelolaan ekonomi daerah di era otonomi daerah yang bersinergitas antar daerah, sehingga ekonomi daerah dapat tumbuh dan berkembang secara merata serta diharapkan akan berdampak positif bagi peningkatan kualitas kesejahteran rakyat. Mari kita terus kerja keras, tidak pantang menyerah dan memanfaatkan sumber daya daerah dengan kebijakan politik otonomi daerah yang dimiliki bangsa ini untuk pemberdayaan ekonomi yang ada dan dimiliki rakyat di Provinsi NTT, sehingga secara bertahap kita mampu mengatasi kesenjangan antar daerah yang terjadi selama ini akibat masih lemahnya kebijakan politik dalam penerapan otonomi daera,” Ujaranya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Demikian pokok-pokok pikiran Dirut Bank NTT, Daniel Tagu yang disampaikan dalam wawancara khusus dengan wartawan zonalinenews yang mencoba mencermati kebijakan politik otonomi daerah dalam pengelolan ekonomi daerah untuk pembangunan daerah mengatasi kesenjangan ekonomi antar daerah.
“Selama ini tentu saja jika dilihat dari aspek pentingnya keberadaan Provinsi NTT sebagai gerbang Timur Indonesia perlu disikapi oleh politisi, birokrat, aparatur sipil dan militer serta pelaku ekonomi/investor yang perlu didukung lembaga-lembaga perwakilan daerah yang tugas dan fungsinya adalah memperjuangkan kepentingan daerah dalam rangka mendorong pembangunan dan mengatasi kesenjangan antar daerah,” kata Daniel Tagu Dedo..
Setelah era reformasi, jelas Tagu Dedo adalah suatu era yang telah mentransformasi sistem politik otoritarian ke demokrasi dan mentransformasi sistem sentralisme ke sistem desentralisasi, membangun daerah menjadi salah satu tujuan penting dari semua tahapan proses demokratisasi yang sedang berlangsung selama ini. Kesejahteraan rakyat harus dicapai dengan memanfaatkan sumber daya politik, tidak hanya menyangkut dukungan kepemimpinan, sistem, kelembagaan, utusan partai, namun juga menyangkut peranan civil society, ormas, LSM, dan media massa.
“Kemajuan suatu daerah di era otonomi dan desentralisasi ini merupakan gabungan dari semua unsur sumber daya yang harus dikelola dengan visi kepemimpinan yang visioner, tidak hanya bisa mengandalkan kekayaan sumber daya alam semata. Dalam pendekatan global, sumber kemakmuran suatu negara tidak hanya terletak pada kekayaan sumber daya alam yang dimiliki, melainkan sudah ditentukan oleh empat hal utama, yakni : Brain, Dream, Spririt, dan confidence. Brian adalah ide, gagasan, pengetahuan, kreativitas dan inovasi. Dream adalah visi, pandangan, perspektif untuk melihat jauh ke depan. Spririt artinya tidak mudah menyerah. Dan confidence adalah percaya pada kekuatan sendiri, “ kata Tagu Dedo.
Dalam konteks itu, tambah Tagu Dedo, pembangunan daerah di era otonomi dan desentralisasi harus diarahkan pada pembangunan yang berbasis sumber daya alam dengan pengelolaan yang cerdas, tepat, efisien, dan efektif dengan didukung oleh sumber daya manusia yang unggul, handal dan kepemimpinan yang demokratis serta visioner dengan dukungan dari masyarakat. Setelah menjadi Negara demokrasi –meskipun dalam indeks demokratasi global yang dikeluarkan oleh Economic Unit Intelegent 2010, rangking demokrasi Indonesia masih berada di pisisi 60 dari 167 negara, namun jika dilihat dari pencapaian variable-variabel demokrasi seperti pemilu dan pluralisme, hak masyarakat sipil, fungsi pemerintahan, budaya politik,dan partisipasi politik –sumber daya politik membangun daerah sebenarnya cukup kuat.
“Otonomi dan desentralisasi merupakan instrument yang tepat dalam mendorong kemajuan daerah, mengatasi kesenjangan, dan mencapai kesejahteraan rakyat, karena otonomi dan desentralisasi memberikan hak yang luas bagi daerah untuk melakukan inovasi dan berkrasi dalam pembangunan sesuai dengan potensi danb keunikan local. Namun, setelah 13 tahun pelaksanaan demokratisasi, jika ditinjau secara komprehensif, maka terjadi paradoks dalam pengelolaan otonomi dan desentralisasi,” jelas Tagu Dedo.
Menurut Tagu Dedo bahwa telah terjadi paradoks dalam pengelolaan otonomi dan desentralisasi disebabkan oleh antara lain, Pertama, pilihan pemekaran daerah belum sepenuhnya memberikan manfaat kesejahteraan yang besar bagi masyarakat daerah. Pemekaran masih menyisakan persoalan-persoalan yang cukujp krusial, baik dari aspek motif yang terlalu berorientasi kepentingan pragmatis para elite, aspek infrasturktur daerah yang masih jauh dari harapan, aspek manajemen birokrasi yang belum professional dan mekanisme partisiapsi rakyat yang belum maksimal dalam hal pengawasan (control). Kedua, muncul fenomena kesenjangan antar daerah, terutama antar daerah yang kaya sumber daya alam dengan daerah yang minim sumber daya alam. Sejak otonomi bergulir kesenjangan pembangunan itu terjadi tidak hanya dalam satu daerah, tetapi secara holistic antar satu daerah dengan daerah lainnya juga semakin timpang. Permasalahannya terletak pada salah kelola sumber daya politik, sumber daya ekonomi, dan kepemimpinan yang kurang visioner. Ketiga, kurangnya sinergitas pembangunan antar daerah, sehingga tidak mampu mengeliminir berbagai kepentingan tersebut. Pemerintah Pusat gagal dalam merumuskan regulasi yang cocok dan mampu menjembatani permasalahan tersebut, termasuk gagal juga merumuskan regulasi yang dapat melindungi segala sumber daya yang ada di daerah dari eksploitasi yang berlebihan.
“Intinya, kegagalan memanfaatkan sumber daya politik secara maksimal yang akhirnya berimbas pada kesenjangan antar daerah yang terwujud dalam bentuk ketimpangan ekonomi, pendidikan dan kesejahteraan,” kata Irman Gusman.
Menurut Irman Gusman, dalam kaitan tersebut, Nusa Tenggara Timur merupakan sebuah contoh dari paradoks sekaligus anomaly dari keseluruhan pembangunan nasional. Sebagai sebuah daerah yang terletak di Kawasan Timur, jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain, pembangunan NTT belum mencapai tahap yang memuaskan, tetapi secara khusus berkat program Desa/Kelurahan Mandiri Anggurn Merah telah mendongkrak perekonomian rakyat pedesaan walaupun belum berjalan secara efektif dan efisien karena berbagai persoalan yang dihadapi di masing-masing daerah, kita harus maklumi. “Apabila kita temui adanya penyalahgunaan keuangan, maka perlu diberikn sangsi dan penghargaan yang wajar, tidak ada sikap toleransi, karena ke depan Desa/Kelurahan Mandiri Anggur Merah harus jadi basis untuk revolusi mental generasi muda yang dipersiapkan menjadi orang kaya baru di desa/kelurahan di seluruh Provinsi NTT,” jelas Tagu Dedo.
Selama ini NTT, tambah Tagu Dedo, masih dilihat sebagai provinsi terbelakang, miskin, dan sarat dengan korupsi. Menurut saya, permasalahan ini yang harus segara diselesaikan. Provinsi NTT harus bangkit, ada begitu banyak sumber daya alam yang bisa dikelola dengan lebih baik, dengan memanfaatkan semua sumber daya politik yang saat ini ada. Di mana otonomi dan desentralisasi harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
“Sebagai daerah kepulauan yang beriklim tropis, Provinsi NTT tidak saja berpotensi investasi di bidang pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan terpadu, pariwisata, perindustrian dan perdagangan, tetapi NTT juga sangat kaya akan sumber daya pertambangan. Apabila sektor sumber daya alam ini dikelola dengan sumber daya manusia yang berkualitas dan disemangati dengan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance), maka secara efektif dan dikembangkan secara optimal melalui kerjasama antara pemerintah dengan dunia usaha, maka masa depan NTT akan lebih baik,” kata Tagu Dedo.
Menurut Tagu Dedo bahwa untuk menjadikan Provinsi NTT sebagai “Provinsi Ternak” harus segera diwujudkan melalui kerja keras, aturan-aturan yang mendukung, birokrasi yang bersih, dan dukungan sumber daya manusia yang memadai. Sebab permasalahan yang selama ini menghambat pembangunan ekonomi kita adalah aturan yang berbelit-belit, brokrasi yang korup, praktek korupsi yang merajalela, dan penegakan hukum yang lemah. Dalam pandangan saya, permasalahan-permasalahan tersebut harus segera diselesaikan. Tidak ada pembangunan yang bisa berhasil jika tidak ada dukungan kebijakan, aturan yang mempermudah, tata kelola pemerintahan yang baik, birokrasi yang bersih, dan penegakan hukum.
Memang kita harus akui, tambah Tagu Dedo bahwa proses otonomi daerah sedang berlangsung di Indonesia, memang masih banyak kelemahan, namun ini adalah konsekuensi dari upaya untuk memberdayakan masyarakat di daerah. Ke depan yang diperlukan adalah konsistensi dari Pemerintah Pusat untuk membimbing ke arah otonomi yang memberdayakan masyarakat.
“Karena saya percaya bahwa masa depan Indonesia ada di daerah Timur. Mari kita terus bekerja keras, tidak pantang menyerah, dan mari kita manfaatkan sumber daya politik yang dimiliki bangsa ini, termasuk juga NTT untuk mengatasi kesenjangan yang selama ini ada,” tegas Tagu Dedo dengan sikap optimis. (*john pereira)