Zonalinenews- Flores Timur,- Sejak mendapat izin operasional pada tahun 2014, sampai saat ini Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri Witihama belum mengantongi Sertifikat Hak Milik tanah.
Informasi yang diterima media ini, Ambuga menuliskan Sekolah yang berlokasi di Desa Watoone, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), tersebut masih mengalami kendala kepemilikan sertifikat tanah, karena ada pengaduan dari seorang warga Desa Watoone.
“Nama SMK ini terdaftar di pusat sejak tahun 2012, tapi izin operasional dikeluarkan tahun 2014. Soal sertifikat tanah ini, seharusnya dipikirkan dan dibuat sejak awal berdirinya sekolah ini,” kata Plt SMKN Witihama, Bart Penana Payong, kepada wartawan, Senin 7 September 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penana Payong mengakui, selama ini ada pengaduan warga terhadap sebagian tanah sekolah, sehingga pihaknya cukup kewalahan mengantongi sertifikat hak milik tanah tersebut.
Sementara itu, pihak sekolah tetap mengurus proses kepemilikan sertifikat tanah, karena segala bantuan kepada pihak sekolah mengisyaratkan sertifikat tanah tersebut.
“Kami punya dokumen kepemilikan lahan. Kami proses ini karena bantuan provinsi ke sekolah syaratnya adalah sertifikat tanah. Setelah kami lengkapi dokumen, Badan Pertanahan Kabupaten turun melakukan pengukuran tanggal 29 Juli 2020. Semua pihak diundang turut hadir. Jadi untuk saya, tanah di SMKN Witihama tidak jadi soal. Karena ada dokumen semua. Ketika ukur sampai ke badan jalan, ada teman saya, Valentinus Sereot Hala, juga punya dokumen. Tahun 2017, kami pernah buat pernyataan bahwa selama status tanah masih diproses, tidak boleh ada aktivitas di lokasi tanah sengketa. Dan kami sudah sepakat dengan Pak Valentinus, bahwa pilar di bagian bawah itu tidak dipasang. Dan sampai hari ini tidak dipasang,” jelasnya.
Penana Payong menegaskan, persoalan lahan tanah yang mereka hadapi saat ini bukanlah keseluruhan tanah SMKN Witihama. Tapi hanyalah pada lokasi sebelah utara sekolah, yakni seluas 360 m2.
“Untuk kami di sini aman. Sekitar 1,6 Ha ini aman. 1,6 Ha ini saya pikir cukup. Kita bisa bangun tingkat. Kalau secara keseluruhan dibilang tanah bermasalah, itu tidak. Palingan di bawah yang seluas 360 m2 itu,” ungkapnya.
Karena itu, dirinya meminta kepada pihak Valentinus Sereot Hala agar menempuh jalur hukum.
“Para pihak diminta untuk proses hukum. Rencananya kita buat berita acara. Persoalan hanya sekitar 360 m2. Sedangkan yang lain tidak. Jadi sebagai kepala sekolah, menurut saya, tidak ada masalah. Jadi kalau misalnya diproses hukum, masing-masing pihak harus menghormati putusan. Karena dia juga miliki dokumen, ada transaksi jual beli disaksikan kepala desa. Tapi harusnya persoalan ini bisa diselesaikan secara adat budaya di sini,” tuturnya.
Berdasarkan Surat Penyerahan Lahan yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 2012, tercatat luas tanah yang diserahkan untuk pembangunan sekolah adalah seluas 21.746 m2.
Penyerahan tersebut dilakukan oleh Herman Orong (62) sebagai Pihak Pertama atau pemilik lahan, kepada pemerintah Kabupaten Flores Timur, dalam hal ini Yoseph Lagadoni Herin (Bupati Flores Timur) sebagai Pihak Kedua.
Atas penyerahan lahan tersebut, disepakati uang sirih pinang sebesar Rp. 230.000.000,00.
Seiring berjalannya waktu, sejumlah warga melakukan klaim, karena tanah mereka masuk dalam lokasi seluas 21.746 m2 tersebut.
Ada warga yang merasa tanahnya masuk dalam Gambar Situasi (GS) sekolah, melakukan protes, sehingga tanah miliknya keluar dari GS tersebut, mengakibatkan luas lahan sekolah berkurang menjadi sekitar 1,6 Ha.
Seorang warga lain yang juga mengadu, Valentinus Sereot Hala, mengatakan dia memiliki lahan seluas 360 m2 yang masuk dalam GS sekolah.
Menurutnya, dia telah membeli tanah seluas 360 m2 tersebut dari Martinus Tupen Duli pada tahun 2008, disaksikan sejumlah pihak, salah satunya Kepala Desa Watoone, Frans Rawa Gana.
“Saya miliki semua bukti pembelian dan dokumen-dokumen lainnya. Dan waktu transaksi jual beli saat itu, disaksikan dan ditandatangani juga oleh kepala desa sekarang ini. Jadi kepala desa tahu kalau tanah ini saya sudah beli dari Tupen Duli. Nah, waktu pengukuran awal untuk pembangunan sekolah, semua pihak dihadirkan. Tapi saya tidak dilibatkan. Kalau memang saya tidak diakui, kan masih ada pemilik asal tanah yang saya beli itu. Tapi itu tidak dilibatkan. Karena itu jadi masalah sampai sekarang,” kata Valentinus Sereot Hala.
Dirinya sangat menyayangkan, bahwa pada pengukuran awal pembuatan GS tersebut, dirinya maupun pemilik asal lahan (Martinus Tupen Duli) tidak dilibatkan.
“Sementara pada awal rencana pembangunan sekolah, mereka datang ke rumah saya dan meminta agar mereka bisa masuk ke lokasi sekolah melalui tanah saya yang saat ini disengketakan. Jadi saya izinkan. Lama-lama, tanah itu mereka klaim sebagai milik mereka. Masuk akal di mana? Saat awal mereka minta izin, artinya mereka akui bahwa itu tanah saya,” paparnya.
Karena persoalan ini, dirinya harus mengeluarkan uang pribadi untuk mengurus pengaduan ataupun hal lainnya ke Larantuka.
Dia sangat berharap pihak pemerintah desa maupun kecamatan harus berperan aktif dalam penyelesaian kasus ini.
“Saya sangat berharap masalah ini diselesaikan secara budaya, dan harus difasilitasi. Pemerintah desa dan kecamatan harus berperan aktif. Seharusnya mereka mainkan peran untuk fasilitasi, bukan saya sendiri yang kiri kanan seperti begini,” keluhnya.
Solusi dari Pemerintah Desa
Kepala Desa Watoone, Frans Rawa Gana, turut merasa prihatin dengan situasi yang terjadi.
Dia menjelaskan, pelepasan hak tanah antara Herman Orong kepada Pemkab Flores Timur terjadi pada tanggal 5 Januari 2012.
“Ini seluas 21.746 m2. Kemudian setelah penyerahan lahan, dilakukan pengukuran tahun 2012, dan menghasilkan GS. Dengan GS ini baru sekolah dibangun. Setelah pengukuran, tidak dilanjutkan dengan proses sertifikat. Ini masalah pokoknya. Masalah ini terjadi karena menurut pak Valentinus, ini tanah miliknya. Menurut Herman, itu tanah milik mereka yang diserahkan,” kata Frans Rawa Gana di ruang kerjanya, Rabu 9 September 2020.
Sebagai kepala desa, dirinya sudah menyarankan kepada Valentinus Sereot Hala agar mendesak Martinus Tupen Duli, agar membuktikan bahwa tanah tersebut adalah miliknya.
“Menurut saya, kita selesaikan sertifikat tanah agar pengembangan sekolah bisa dilakukan. Karena ini butuh sertifikat. Jadi kalau Pak Valentinus mau, biarkan dulu sertifikat sekolah ini dibuat. Sementara itu, harus didesak kepada Tupen Duli dan Boro Raga untuk buktikan kepemilikan lahan itu. Kalau misalnya tanah itu milik Tupen Duli, tanah tersebut dipecahkan dari sertifikat tanah sekolah. Kalau milik Boro Raga, maka itu milik sekolah. Saya selalu bilang, Pak Valentinus kan sebagai pembeli. Jadi misalnya kalau itu miliknya Boro Raga, maka Tupen Duli harus tunjukan lokasi baru untuk Pak Valentinus,” tuturnya.
Atas setiap solusi yang ditawarkan, Valentinus Sereot Hala berharap agar difasilitasi oleh pemerintah desa maupun kecamatan. (*TIM)