Oleh Drs Ibrahim SH
(Mantan Kepala LAPAS ).
Zonalinenewsw,- Perkawinan merupakan bagian dari perwujudan manusia sebagai homo homini socius (kecenderungan manusia untuk berteman membangun ikatan antar sesama). Sebagai sebuah ikatan, perkawinan dapat dikategorikan ke dalam kontrak sosial yang dilaksanakan atas dasar kerelaan tanpa paksaan menurut pranata agama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tata cara pelaksanaan Perkawinan secara normatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (khusus umat islam). Pasal 2 Ayat 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Sedangkan Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa Perkawinan adalah sah apabila, dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1). Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Maksud yang terkandung dalam Pasal di atas adalah perkawinan disebut sah, ketika dilaksanakan berdasarkan aturan agama yang dianut calon mempelai.
Perkawinan merupakan hak seorang perempuan yang dijamin oleh undang-undang. Hak ini dipertegas pada Pasal 50 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa, Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya. Pasal 50 juga dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan hukum sendiri adalah cakap menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum, dan bagi Perempuan beragama Islam yang sudah dewasa, untuk menikah diwajibkan menggunakan wali.
Secara teknis administratif, sebagai syarat perkawinan bagi umat islam berpedoman pada, Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Nikah, Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim.
Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa rukun melaksanakan perkawinan adalah:
a. Calon suami.
b. Calon istri.
c. Wali nikah.
d. Dua orang saksi.
e. Ijab dan qabul.
Sedangkan dalam Pasal 4 huruf (h) Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Nikah disebutkan bahwa pendaftaran kehendak perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan secara tertulis dengan mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan izin dari wali yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah, dalam hal kedua orang tua atau wali sebagaimana dimaksud dalam huruf g meninggal dunia atau dalam keadaaan tidak mampu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pasal 2 Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim disebutkan bahwa:
1. Bagi calon mempelai perempuan yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/di luar wilayah teritorial Indonesia, tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud, atau berhalangan, atau adhal, maka pernikahannya dilangsungkan oleh wali hakim.
2. Khusus untuk menyatakan ad’alnya wali sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.
Pasal-pasal di atas mengharuskan adanya restu atau ijin wali bagi calon mempelai perempuan yang akan melangsungkan perkawinan. Adanya wali bagi perempuan merupakan persyaratan yang wajib dipenuhi. Bila wali enggan memberikan ijin, menurut Pasal 2 Ayat 1 dan 2 Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 mengharuskan mengajukan permohonan penetapan wali ad’al di Pengadilan Agama. Peraturan Menteri Agama No 30 Tahun 2005 merupakan solusi dan sebagai petunjuk teknis bagi calon mempelai Perempuan bila walinya enggan menjadi wali.
Sedangkan Pengadilan Agama merupakan instansi yang memutus permohonan tersebut. Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama dapat dijadikan dasar untuk melengkapi persyaratan (wali) perkawinan yang masih kurang.
Permohonan penetapan wali ad’all yang diajukan oleh calon mempelai perempuan ke Pengadilan Agama, dikarenakan wali nikahnya tidak mau menjadi wali dalam perkawinan. Akibat penolakan wali dari calon mempelai perempuan yang enggan menjadi wali, maka pendaftaran perkawinan tersebut ditolak oleh Kantor Urusan Agama/Kantor Pencatat Nikah. Kondisi demikian berdampak pada psikis dan sosial bagi perempuan. Sebagai solusi dari permasalahan tersebut, calon mempelai perempuan dapat mengajukan permohonan penetapan wali ad’all ke Pengadilan Agama setempat.
Permohonan penetapan wali ad’al di Pengadilan Agama merupakan wujud dari perlindungan terhadap hak-hak perempuan yang berhadapan dengan hukum. Hal demikian sangat selaras dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Perempuan(Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women (CEDAW)), dimana di article 2 huruf c disebutkan bahwa tujuan dari konvensi adalah, untuk membangun perlindungan hukum atas hak-hak perempuan atas dasar kesetaraan dengan laki-laki dan untuk memastikan melalui pengadilan nasional yang kompeten dan lembaga publik lainnya yang efektif , perlindungan perempuan terhadap segala tindakan diskriminasi.
Selain itu, penetapan wali ad’al juga memiliki nafas yang sama dengan Peraturan Mahkamah Agung R.I Nomor 3 Tahun 2017, setidaknya dalam Pasal 6 disebutkan bahwa , Hakim dalam mengadili perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum:
a. Mempertimbangkan Kesetaraan Gender dan Stereotip Gender dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis.
b. Melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan/atau hukum tidak tertulis yang dapat menjamin Kesetaraan Gender.
c. Menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna menjamin Kesetaraan Gender, perlindungan yang setara dan non diskriminasi.
d. Mempertimbangkan penerapan konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional terkait Kesetaraan Gender yang telah diratifikasi. Sangat jelas dan nyata bahwa penetapan wali ad’al yang diajukan di Pengadilan Agama berbanding lurus dengan perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Adanya penetapan wali ad’al juga memberikan kemudahan pada perempuan yang akan membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rohmah.
Semoga bermanfaat untuk kita semua dan menambah wawasan pengetahuan.Aamiin….(*)