Oleh : Drs.Ibrahim .SH.
(Mantan Kepala Lapas)
Anak merupakan masa depan bangsa dan negara, anak memiliki masa harapan hidup panjang di mana kelak akan menjadi penerus suatu bangsa dan negara. Maka dari itu, perlindungan terhadap hak anak harus dikedepankan. Anak memiliki karakteristik khusus (spesifik) dibandingkan dengan orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak-hak anak menjadi penting diprioritaskan.
Di mata hukum positif di Indonesia (ius constitutum/ ius operatum) lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa ,orang yang di bawah umur/keadaan di bawah umur atau kerap juga disebut sebagai anak yang berada di bawah pengawasan wali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam hukum pidana pembatasan umur Anak identik dengan batas usia pertanggungjawaban pidana seorang Anak yang dapat diajukan ke depan persidangan peradilan pidana Anak.
Pada saat ini, hukum mengenai peradilan pidana Anak diatur dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Perspieltürme im test amazon bosch feinbohrschleifer amazon stojalo za rože dekorativno vans old skool mustard magnetic fields how to play synthesizer hervis otroška smučarska jakna hornbach ampelschirme saias da stradivarius Portugal szary płaszcz puchowy bracelet tendance femme 2022 Canada apple watch 5 44 mm cellular יתרונות וחסרונות של מיטה וחצי varusteleka sarkahousut Finland brandon aiyuk shirt jordan 4 for sale adilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA). Kemudian batasan umur Anak diatur dalam ketentuan pasal 1 ayat (3) UU SPPA yang menyebutkan bahwa Anak yang berkonflik dengan hukum adalah Anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun akan tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Dalam hal Penyelesaian perkara pidana Anak, pengadilan Anak mengupayakan untuk kepentingan terbaik Anak, baik dari segi fisik maupun psikologis. Dalam pasal 5 ayat (1) UU SPPA disebutkan bahwa sistem peradilan Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Selanjutnya apa itu Keadilan Restoratif? Keadilan Restoratif dijelaskan dalam pasal 1 ayat (6) yang menyebutkan Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Salah satu dari proses pengadilan Anak adalah adanya diversi.
Apa itu Diversi.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, hal ini tertuang dalam pasal 1 ayat (6) UU SPPA. Tujuan dari diversi itu sendiri diatur oleh pasal 6 UU SPPA yang bertujuan untuk:
1.Mencapai perdamaian antara korban dan anak.
2.Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan.
3.Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan.
4.Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan
5.Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Diversi dilakukan berdasarkan pendekatan keadilan atau peradilan berbasis musyawarah atau keadilan restoratif. Substansi keadilan atau peradilan berbasis musyawarah atau keadilan restoratif merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula (restitutio in integrum), dan bukan pembalasan.
Diversi tidak diterapkan kepada semua tindak pidana yang dilakukan oleh Anak. Hal ini dengan tegas diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPPA yang menyatakan bahwa:
Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan :
(a) diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tahun).
(b) bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 (selanjutnya disebut Perma No. 4 Tahun 2014), Musyawarah diversi adalah musyawarah antara pihak yang melibatkan anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/wali, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional, perwakilan dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan melalui pendekatan keadilan restoratif. Sedangkan fasilitator adalah hakim yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan. Dalam Pasal 2 Perma No. 4 Tahun 2014, dijelaskan bahwa diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (tahun) tetapi belum berumur 18 (tahun) atau telah berumur 12 (tahun) meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (tahun).
UU SPPA menentukan bahwa proses diversi pada setiap tingkat pemeriksaan yaitu pada tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan Anak. Hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) UU SPPA. Jika tidak dalam salah satu tingkat pemeriksaan tidak dilaksanakannya diversi maka dalam pasal 95 UU SPPA memberikan ancaman sanksi administratif bagi pejabat atau petugas yang melanggar mengupayakan diversi, sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan terdapat sanksi pidana bagi Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban dalam melaksanakan diversi ,di mana diatur dalam pasal 96 UU SPPA dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Dalam Pasal 8 ayat (3) UU SPPA proses yang dilakukan wajib memperhatikan:
1.Kepentingan korban.
2.Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak.
3.Penghindaran stigma negatif.
4.Menghindari pembalasan.
5.Keharmonisan masyarakat dan
6.Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Dalam UU SPPA upaya wajib dilakukan Diversi pada tingkat Penyidikan diatur dalam ketentuan Pasal 7, Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU SPPA.
Diversi pada tingkat Penuntutan diatur dalam ketentuan Pasal 7, dan Pasal 42 UU SPPA.
Diversi pada tingkat pemeriksaan di sidang Anak (tahap persidangan) diatur dalam ketentuan Pasal 7, Pasal 14 dan Pasal 52 UU SPPA.
Berita Acara Proses Diversi, baik berhasil maupun yang gagal sebagaimana Perma No. 4 Tahun 2014 tanggal 24 Juli 2014.
Apabila diversi berhasil di mana para pihak mencapai kesepakatan, maka hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan. Hasil kesepakatan diversi tersebut disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat Penetapan. Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan Penetapan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan diversi. Penetapan tersebut disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan dan Hakim Anak yang menangani perkara dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Perma No. 44 Tahun 2014). Berikutnya, setelah menerima penetapan dari Ketua Pengadilan tentang kesepakatan diversi maka Hakim Anak/Majelis Hakim Anak menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara dan juga hendaknya berisi redaksional, “memerintahkan terdakwa dikeluarkan dari tahanan”, terhadap Anak yang dalam proses perkara dilakukan penahanan.
Apabila diversi gagal perkara dilanjutkan ke tahap persidangan, di mana selanjutnya Hakim Anak melanjutkan persidangan sesuai dengan prosedur persidangan anak.
Hasil kesepakatan diatur dalam pasal 11 UU SPPA yang berbunyi:
Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain:
1.Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian.
2. Penyerahan kembali kepada orang tua/wali.
3.Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan atau
4.Pelayanan masyarakat.
Dalam hal kesepakatan diversi tidak dilaksanakan maka proses peradilan pidana Anak dilanjutkan. Hal ini secara tegas diatur dalam pasal 13 huruf b UU SPPA.
Semoga bermanfaat untuk kita semua,dan menambah wawasan pengetahuan.Aamiin.(*)