Oleh : Drs.Ibrahim , SH.
(Mantan Dosen Fakultas Hukum Unkris Arthawacana Kupang.)
Zonalinenews ,- Dalam kewarisan hukum Islam terdapat beberapa asas asas yang dianut dalam pelaksanaan kewarisan antara lain yaitu
1) Asas Ijbari, Asas yang menyatakan bahwa peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris terjadi dengan sendirinya menurut ketetapan yang dibuat Allah Swt tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris. Oleh karena asas ini maka
secara langsung tiap ahli waris diwajibkan menerima
peralihan harta peninggalan pewaris sesuai dengan bagiannya masing-masing yang telah ditetapkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
2) Asas bilateral, Asas yang menyatakan bahwa ahli waris yang menerima harta peninggalan pewaris adalah keturunan laki laki maupun perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki bagian masing-masing dari harta peninggalan pewaris.
3) Asas individual
Asas yaitu harta peninggalan pewaris dibagikan
kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Masing masing bagian ahli waris adalah kepunyaannya secara perorangan.
4) Asas keadilan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban antara ahli waris serta keseimbangan antara keperluan dan kegunaan yang diperoleh dari harta peninggalan pewaris.
Tidak ada definisi secara formal mengenai wasiat wajibah
dalam sistem hukum Islam di Indonesia.
Bismar siregar mengungkapkan bahwa wasiat wajibah adalah,
suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat
yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang
wafat, karena adanya suatu halangan syara‟.
Eman Suparman
berkomentara bahwa wasiat wajibah adalah,
sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak
bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal
dunia.
Wasiat wajibah secara tersirat mengandung unsur-unsur
yang dinyatakan dalam pasal 209 dalam Kompilasi Hukum Islam,
yaitu:
1. Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua
angkat atau sebaliknya, orang tua angkat terhadap anak
angkat.
2. Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada
penerima wasiat akan tetapi dilakukan oleh negara.
3. Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau
tidak boleh melebihi satu pertiga dari harta peninggalan
pewaris.
Wasiat wajibah dalam pasal 209 dalam Kompilasi Hukum
Islam timbul untuk menyelesaikan permasalahan antara pewaris
dengan anak angkatnya dan sebaliknya anak angkat selaku
pewaris dengan orang tua angkatnya.Dalam sistem hukum di Indonesia, lembaga wasiat
termasuk wasiat wajibah menjadi kompetensi absolut dari
pengadilan agama, berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama.
Hakim yang dimaksud Ibnu Hazmin dalam kewarisan Islam di Indonesia dilaksanakan oleh hakim-hakim dalam lingkup pengadilan agama dalam tingkat pertama sesuai dengan kompetensi absolut
sebagaimana diperintahkan undang-undang.
Dalam menentukan wasiat wajibah, secara yuridis formil,
para hakim pengadilan agama menggunakan ketentuan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana dinyatakan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Secara yuridis formil ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya pasal 209 memahami bahwa
wasiat wajibah hanya diperuntukan bagi anak angkat dan orang tua angkat.
Kompleksitas masyarakat Indonesia membuat hakim harus keluar dari yuridis formil yang ada yaitu dengan menggunakan fungsi rechtsvinding yang dibenarkan oleh hukum positif apabila tidak ada hukum yang mengatur. Kewenangan tersebut diberikan dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Selain itu Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 229 juga memberikan kewenangan hakim untuk menyelesaikan perkara dengan memperhatikan dengan sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga memberikan putusan yang sesuai dengn rasa keadilan.
Pada prinsipnya hakim memiliki kewenangan menggunakan fungsinya sebagai rechtsvinding atau dalam hukum
Islam disebut ijtihad sebagai alternatif.
Dalam hal wasiat wajibah yang sempit pada anak angkat dan orang tua angkat maka hakim wajib menggunakan kewenangan fungsi rechtsvinding atau ijtihad-nya. Akan menjadi sulit untuk menjalankan yuridis formil dalam Kompilasi Hukum Islam
terhadap orang-orang dekat pewaris di luar anak angkat dan
orang tua angkat.
Justeru apabila hakim tidak melakukan rehtvinding karena
tidak ada hukum yang mengatur (ius coria novit) maka hakim
dapat diberikan sanksi (pasal 22 Algemen Bepallingen van
Wetgeving Voor (AB).
Terdapat beberapa rechtsvinding atau ijtihad mengenai
wasiat wajibah dalam yurisprudensi yang telah berkekuatan hukum tetap. Misalnya dalam putusan No. 368 K/AG/1995 dan putusan 51K/AG/1999.
Dalam perkara yang diputus dengan putusan 368 K/AG/1995, Mahkamah Agung memutuskan sengketa waris dari pasangan suami isteri yang memiliki 6 (enam) orang anak. Salah
satu anak perempuan mereka telah berpindah agama ketika orang tuanya meninggal dunia.
Sengketa ahli waris dimintakan salah satu anak laki-laki
dari pewaris atas harta yang dimiliki oleh pewaris. Dalam tingkat pertama, salah satu anak perempuan tersebut terhijab untuk mendapatkan harta peninggalan pewaris.
Tingkat Banding mementahkan putusan tingkat pertama dengan memberikan wasiat wajibah sebesar 1/3 (sepertiga) bagian anak perempuan kepada anak perempuan yang berpindah agama. Tingkat Kasasi
menambahkan hak anak yang berpindah agama dengan wasiat wajibah sebesar anak perempuan lainnya atau kedudukan anak yang berpindah agama tersebut sama dengan anak perempuan lainnya.
Dalam putusan Mahkamah Agung No. 51K/AG/1999
tertanggal 29 September 1999 menyatakan bahwa ahli waris yang bukan beragama Islam tetap dapat mewaris dari harta
peninggalan pewaris yang beragama Islam. Pewarisan dilakukan menggunakan lembaga wasiat wajibah, dimana bagian anak perempuan yang bukan beragama Islam mendapat bagian yang sama dengan bagian anak perempuan sebagai ahli waris.
Selain itu terdapat juga putusan Mahkamah Agung No. 16
K/AG/2010 memberikan kedudukan isteri yang bukan beragama Islam dalam harta peninggalan pewaris yang beragama Islam.
Isteri yang bukan beragama Islam mendapatkan warisan dari pewaris melalui lembaga wasiat wajibah yang besarnya sama dengan kedudukan yang sama dengan isteri yang beragama Islam ditambah dengan harta bersama.
Putusan-putusan tersebut diterbitkan oleh karena terjadi
pergesekan kepentingan antar ahli waris. Ahli waris akan
menikmati bagian secara kualitatif yang lebih sedikit dengan adanya lembaga wasiat wajibah.
Bagian para ahli waris yang sudah ditentukan, dialihkan
kepada penerima wasiat wajibah oleh karena ijtihad hakim yang
berwenang. Tuntutan-tuntutan para ahli waris adalah menyampingkan lembaga wasiat wajibah.
Sekilas putusan-putusan tersebut di atas tidak didasarkan
pada hukum Islam murni yang berasal dari al-Qur‟an dan as,Sunnah. Putusan-putusan tersebut terlihat seperti melakukan penyimpangan dari al-Qur‟an dan as-Sunnah. Putusan-putusan tersebut diterbitkan untuk memenuhi asas keadilan bagi para ahli
waris yang memiliki hubungan emosional nyata dengan pewaris.
Hakim menjamin keadilan bagi orang-orang yang memiliki
hubungan emosional dengan pewaris tersebut melalui lembaga wasiat wajibah.
Seorang anak ataupun anak yang berbeda agama dan telah
hidup berdampingan dengan tentram dan damai serta tingkat
toleransi yang tinggi dengan pewaris yang beragama Islam tidak boleh dirusak oleh karena pewarisan. Penyimpangan yang
dilakukan akan memberikan lebih banyak kemaslahatan daripada
mudarat.
Meskipun pertimbangan setiap hakim dapat berbeda-beda
mengenai besaran wasiat wajibah dalam setiap kasus, namun terdapat suatu asas yang menjadi dasar dalam menjatuhkan besaran wasiat wajibah, yaitu asas keseimbangan. Wasiat
wajibah diberikan tidak mengganggu kedudukan ahli waris lainnya. Bagian harta peninggalan yang diperuntukan untuk wasiat wajibah diberikan dari derajat yang sama. Anak
perempuan tidak beragama Islam mendapat bagian yang sama
sebesar bagiannya dengan kedudukannya sebagai anak
perempuan. Begitu juga dengan kedudukan isteri yang tidak
beragama Islam, akan mendapatkan bagian yang sama besar bagianya dengan kedudukannya sebagai isteri.
Atas dasas asas keadilan dan keseimbangan juga
kedudukan anak angkat dan orang tua angkat tidak selamanya maksimal mendapatkan 1/3 (satu pertiga) bagian dari harta
peninggalan pewaris. Atas kewenangan hakim juga anak angkat dan orang tua angkat dapat mendapatkan lebih dari yang dinyatakan dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.
Sifat dari ijtihad yang dilakukan hakim tidak bersifat
imperatif akan tetapi fakultatif. Penggunaan putusan-putusan tersebut apabila terjadi sengketa dan sebaliknya apabila tidak terjadi sengketa maka tetap menerapkan hukum Islam.
Semoga bermanfaat utk kita semua dan menambah wawasan pengetahuan.
Amin yarabbanal alamin.