ZONALINENEWA.COM – KUPANG, Kasus ganja medis Fidelis Arie di 2017 kembali berulang. Kali ini menimpa Reyndhart N.Siahaan yang didakwa atas penggunaan ganja yang kini menunggu vonis dari Pengadilan Negeri (PN) Kupang.
Seperti diberitakan di berbagai media, Reyndhart mengalami gangguan saraf terjepit di 2015. Di 2018, penyakit tersebut kembali kambuh. Kemudian dia menggunakan ganja untuk meredakan rasa sakitnya.
Kini Reyndhart harus menghadapi proses hukum. Kasus ini mengingatkan kita pada kasus Fidelis Arie di PN Sanggau, 2017 silam. Fidelis harus diadili karena melakukan pengobatan dengan menggunakan ganja kepada isterinya, Yeni Riawati, yang memiliki penyakit Syringomyelia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebelumnya Fidelis sudah berusaha mencari metode pengobatan terhadap isterinya tersebut melalui cara konvensional dan alternatif. Fidelis kemudian ditangkap dan divonis penjara oleh PN Sanggau.
Selama Fidelis menjalani proses hukum, kondisi Yeni terus merosot hingga akhirnya meninggal dunia.
Program Manajer Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati kepada wartawan via telepon seluler, Sabtu 13 Juni 2020 dia mengatakan, UU Narkotika memang melarang penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 ayat (1), namun perlu diingat bahwa original intent dari UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) justru bertujuan untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk pelayanan kesehatan, sebagaimana tertulis dalam tujuan dari UU Narkotika pada Pasal 4 huruf a UU Narkotika.
Koalisi menilai bahwa tidak semestinya UU Narkotika melarang pemanfaatan narkotika untuk pelayanan kesehatan.
Menurut dia, lebih jauh, kriminalisasi yang terjadi pada masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan seperti Reyndhart dan Fidelis jelas bertentangan dengan tujuan pertama dan utama keberadaan narkotika sejatinya adalah untuk kesehatan masyarakat Indonesia.
Pelarangan dan kriminalisasi penggunaan narkotika untuk kesehatan justru bertolak belakang dengan eksistensi narkotika itu sendiri. Riset dan pengetahuan yang diperlukan untuk mengembangkan hal tersebut pun harus tersedia dan didukung oleh negara.
“Pasal 28H ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa hak atas pelayanan kesehatan sebagai hak asasi manusia yang dijamin dalam Konstitusi. Hak atas kesehatan juga dijamin dalam UU HAM nomor 39/1999 dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah Indonesia ratifikasi. Oleh karena itu, jelas bahwa pelarangan narkotika untuk narkotika golongan I untuk medis bertentangan dengan norma hak atas kesehatan. Belajar dari kasus Fidelis dan Reynhardt, sudah waktunya Indonesia membuka diri dan menyediakan kesempatan pemanfaatan narkotika golongan I guna pelayanan kesehatan,” ungkap Maidina.
Dia menjelaskan, sekalipun UU Narkotika mengkriminalisasi penggunaan narkotika, Koalisi berharap Majelis Hakim yang mengadili perkara Reynhardt mengedepankan prinsip hak atas kesehatan dan mengutamakan asas keadilan dan kemanfaatan hukum. Apa yang dilakukan Reynhardt dapat dikategorikan sebagai keadaan daya paksa berdasarkan Pasal 48 KUHP.
Keadaan sakit yang diderita Reynhardt dan keberhasilan pengobatan menggunakan ganja yang dia lakukan adalah kondisi yang dibutuhkan dan tidak dapat dihindarkan oleh Reynhardt. Pengadilan harus mampu menelusuri apakah Reynhardt benar-benar menggunakan ganja untuk kebutuhan pengobatan, apabila benar maka kondisi ini, sekali lagi adalah kondisi daya paksa, dan berdasarkan Pasal 48 KUHP, disebutkan bahwa “barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana,” katanya.
Dalam kondisi terjadi keadaan daya paksa untuk kasus-kasus yang melibatkan kondisi kesehatan dan merujuk pada UU Narkotika yang mengamanatkan penggunaan narkotika untuk kesehatan masyarakat, lanjut Maidina maka Koalisi mendorong Majelis Hakim agar mengedepankan keadilan dan kemanfaatan hukum. Sehingga sudah tepat dan sangat adil apabila Majelis Hakim bersedia untuk membebaskan Reyndhart Siahaan dari segala dakwaan, sebab ganja yang ia miliki dan gunakan dipakai untuk kepentingan medis.
“Koalisi juga mendesak Negara untuk meninjau ulang kebijakan narkotika Indonesia untuk membuka akses dan menjamin ketersediaan narkotika golongan I, di mana ganja ada di dalamnya, bagi pemenuhan hak atas kesehatan rakyat Indonesia,” paparnya.
Maidina menambahkan, menyediakan kesempatan untuk melakukan penelitian terhadap zat dan tanaman di golongan I narkotika, dengan menempatkan ganja sebagai prioritas. Menghilangkan stigma buruk terhadap zat narkotika dan kepada pengguna narkotika, sebab pengguna bukan kriminal dan mereka harus didukung, bukan dikurung. (*hayer)