Zonalinenews-Baa,- Ketua Umum Panitai Sidang Sinode Gereja masehi Injil di Timor (SS GMIT) ke 33 Drs. Ibrahim Agustinus Medah mengatakan, pembangunan GMIT Center di Baa ibu kota Kabupaten Rote Ndao dijadikan sebagai monumen peringatan Sidang Sinode GMIT ke 33 yang akan terus dikenang sepanjang jaman.
“Kita lihat setelah ada sisa anggaran dari pelaksanaan Sidang Sinode ini akan kita manfaatkan untuk pembangunan GMIT Center di Rote, dan panitia akan mancari tambahan anggaran untuk pembangunannya,” ujar Ibrahim Medah disela-sela acara persidangan SS GMIT di Kompleks Perkantoran Kabupaten Rote Ndao Senin 21 September 2015.
Dikatakannya, uai persidangan ini akan dibuat desainnya dengan tetap menggunakan ciri arsitektur tradisional Rote Ndao dan akan diajukan ke Majelis Sinode untuk disepakati. “Bangunan itu akan selesai pada pertengahan tahun 2016 dengan daya tampung 2500 orang dan akan menjadi aula serba guna yang dimanfaatkan untuk warga GMIT, pemerintah dan masyarakat umum,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pembangunan GMIT Center itu kata Medah, akan membutuhkan anggaran sebesar Rp 7,5 miliar dengan asumsi tiap meter per segi dinominasikan sebesar Rp 3 juta/meter persegi.
Menurut senator/anggota DPD RI asal NTT itu GMIT Center itu akan dibangun diatas lahan seluas 500 m2 yang terletak di jalur jalan menuju Ne’e. “Gedung itu akan menampung berbagai kegiatan masyarakat dan warga GMIT yang membutuhkan ruangan yang luas dengan kapasitas daya tampung yang besar,” katanya.
Gedung GMIT Center itu kata dia, setelah dibangun maka akan menjadi GMIT Center yang ketiga setelah Kota Kupang dan Naibonat Kabupaten Kupang.
Pada kesempatan lain, Sekretaris Badan Pekerja Harian Gereja Protestan Indonesia (GPI) Pdt. Lies Tamuntuan-Makisanti, M.Th mengataan, GMIT merupakan anak ketiga dari GPI yang dimandirikan dalam mengorganisir pelayanan di wilayah Timur Indonesia. “Ada GMIT, GMIM dan GPM dan sembilan adik dari Gorontalo (GPIB). Jadi kita 12 bersaudara. Kita ada dalam satu persaudaraan dalam GPI. Meski PGI sudah ada dan menyatu dalam satu lembaga, tetapi kita satu ibu. Dan ketika hymne dilombakan GMIT menjadi juara umum, ini baru ada sepanjang 410 tahun. Dan dalam hymne itu tercantum komitmen kita sebagai bersaudara. Saya dari GMIM tetapi berada di sini seperti berada di gereja saya sendirim” ujar Pdt. Lies dalam sesi pesan-pesan mitra GMIT dalam acara sidang pada Senin 21 September 2015 di Atrium Tii Langga Rote Ndao.
Dikataknnya, persaudaraan itu akan tetap dipupuk sampai gereja sudah tidak ada lagi di dunia ini. “Dalam sidang sinode GPI di Palu, salah satu Sinode GPI adalah adalah Bapak Pdt. Bobby Litelnoni yang adalah Ketua Sinode GMIT. Mari kita sama-sama mendayung GPI ini dan salah satu komitmen kita adalah, ketika ada kekurangan pelayanan, dan kalau ada surplus pelayanan, mereka juga meminta para Pendeta GMIT untuk melayani di Toli-Toli dan daerah lain,” katanya.
Dia menyebutkan, salah satu program adalah pertukaran pelayanan, sehingga ketika masing-masing mengalami kesulitan baik di Banggai, Tolitoli, Buol dan lain-lain maka komitmen ini yang dibangun ke depan.
Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Pdt. Albert Patty menyeruhkan jalinan kerjasama antara gereja. “Kita tidak hanya saling mendoakan saja, tapi di tengah krisis dunia, ekonomi, politik, sosial, dan budaya saatnya gereja membangun kerjasama yang konkrit untuk kebaikan umat kita dan kebaikan bangsa serta dunia ini,” katanya.
Dikataknnya, partnership ini sangat penting dijalin. “Saya senang karena tema kita Yesus Kristus adalah Tuhan, ini menunjukkan GMIT back to basic. Tapi pertanyaannya, kenapa tema ini diambil, karena biasanya tema ini diangkat ketika gereja-gereja mengalami penindasan, dan persoalan yang berat.
Ia menjelaskan, terdapat 1200 kasus kekerasan di Indonesia dan paling tinggi di Jawa Barat. “Gereja diserang dan diserbu. Kalau di Jawa Barat menggunakan tema Yesus Kristus adalah Tuhan, itu wajar. Kalau gereja-gereja di Timur Tengah menggunakan tema ini wajar karena mereka tertindas,” katanya.
Pdt. Albert menambahkan, tantangan dan masalah apapun, sudah saatnya gereja-gereja di Indonesia membangun partnership yang konkrit. “Mengatasi radikalisme agama, persoalan lingkungan hidup yang parah. Kia menjalin partnership dengan sesama seagama, maupun partnership dengan orang-orang di luar kita. NTT ini tidak bisa dibangun oleh GMIT saja, tetapi semua komponen,” jelasnya.(*laurens leba tukan)