ZONALINENEWS-YOGKARTA,- Aliansi Tanah Dading bersama mahasiswa-mahasiswi yang tergabung dalam Gerakan Rakyat menggelar demo di Yogyakarta pada Sabtu, 31 Oktober 2020. Aksi unjuk rasa tersebut dilakukan dalam rangka merespon rencana investasi yang masuk ke Nusa Tenggara Timur melalui skema pariwisata dan industri ekstraktif yang memberi damapk besar terhadap perampasan tanah, eksplotasi lahan, serta krisis ekologi, sosial, dan budaya. Akan tetapi, isu pokok yang dibicarakan dalam aksi unjuk rasa ini terkait rencana penambangan batu gamping dan pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur.
Aksi ini digelar di bawah koordinasi Aliansi Tanah Dading Yogyakarta dengan tema “Aliansi Tanah Dading Yogyakarta Bersama Gerakan Rakyat Bersatu Melawan Perampasan Tanah dan Eksploitasi Lahan di NTT: Tolak Pembangunan Pabrik Semen di Manggarai Timur!”. Aksi ini digelar di pertigaan UIN Sunan Kalijaga, Jalan Solo, Yogyakarta. Aksi unjuk rasa ini dimulai pukul 13.00-14 WIB.
Salah satu anggota Aliansi Tanah Dading Yogyakarta, Ren Warang menjelaskan beberapa alasan terkait penolakan penambangan batu gamping dan pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda. Dalam orasi politiknya, Ren Warang menegaskan bahwa: Pertama, penambangan batu gamping dan pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda ditolak karena PT Istindo Mitra Manggarai dan PT Singa Merah akan mengeksploitasi lahan yang sangat luas yang termasuk juga lahan produktif warga yaitu seluas 599 hektar. Sementara, luas Desa Satar Punda hanya sebesar 2.260 hektar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kedua Menurut Ren, penambangan batu gamping dan pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda ditolak karena PT Istindo Mitra Manggarai (IMM) yang dulunya bernama PT Istindo Mitra Perdana mempunyai jejak historis yang buruk dalam aktivitas penambangan di Manggarai. Aktivitas pertambangan perusahaan ini berakibat ada masalah gagal panen dan penyakit seperti infeksi saluran pernafasan dan TBC bagi masyarakat di sekitar wilayah pertambangan.
Lanjut Ren Warang menjelaskan, ketiga pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda ditolak karena pendirian pabrik semen ini merupakan suatu kontradiksi apabila berkaca pada realitas bahwa Indonesia mengalami oversupply semen hingga 45 juta ton per tahun. Dengan demikian, pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda hanya akan membuat produksi semen semakin surplus.
“Selain itu, pendirian pabrik semen ini ditolak menimbang ancaman kerusakan lingkungan dan berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh polusi pabrik mengancam kehidupan masyarakat. Menurutnya, berdasarkan laporan Investigasi Gas Rumah Kaca KLHK pada tahun 2011, pabrik semen merupakan industri penyumbang emisi terbesar yaitu sebesar 48 persen. Dengan demikian, pemdirian pabrik semen baru sangat tidak bijak mengingat ancaman pemanasan global,” tuturnya.
Dikatakan Warang poin yang Keempat ialah, penambangan batu gamping di Desa Satar Punda ditolak karena wilayah Desa Satar Punda termasuk dalam kawasan karst. Hal ini telah ditetapkan dalam UU PPLH Nomor 32 Tahun 2009 serta Surat Keputusan Nomor SK.8/MENLIK/SETJEN/PLA.3/1/2018 Tentang Penetapan Wilayah Ecoregion Indonesia dan Surat Keputusan Nomor SK.297/MENLHK/SETJEN/PLA.3/4/2019 Tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Air. Apabila wilayah ini ditambang, maka akan berpengaruh terhadap berkurangnya cadangan air. Selain itu, pembangunan ini berakibat pada krisis sosial budaya masyrakat.
Menurut Warang poinn yang Kelima, penambangan batu gamping dan pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda mengancam eksistensi masyarakat lokal yang memiliki filosofi budaya tiga tungku Manggarai yaitu uma peang (tanah ulayat/kebun), wae teku (sumber air), dan beo (kampung). Tiga hal inilah yang selalu menjadi pegangan dari nenek moyang sampai sekarang ini karna memberi kehidupan yang baik bagi masyarakat Manggarai sampai saat ini.
Di akhir orasi politiknya, Ren mengatakan bahwa “saat ini rencana penambangan batu gamping dan pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda, Kabupaten Manggarai Timur sudah memasuki tahapan studi AMDAL. Studi AMDAL ini dimulai pada bulan September lalu. Mengingat potensi kehilangan lahan yang berdampak secara ekonomi,sosial,budaya dan ancaman kerusakan lingkungan serta memperparah ketimpangan agraria di NTT maka studi AMDAL ini sudah sepantasnya dihentikan,”tukasnya.
Dia juga mengingatkan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur agar fokus memperkuat dan mengembangkan sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan. Ketiga sektor tersebut merupakan sektor primer di Manggarai Timur khususnya dan Nusa Tenggara Timur umumnya. Sebab Kabupaten Mangarai Timur yang merupakan daerah yang didominasi oleh sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan.
Adapun seruan dan tuntutan lain yang juga disampaikan pada aksi unjuk rasa ini yaitu:
1.Hentikan pembangunan Kawasan wisata Superpremium di Kawasan Taman Nasional Komodo;
2.Bubarkan Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo- Flores.
3.Menuntut adanya pelibatan partisipasi masyarakat lokal dan konsultasi publik
dalam pengembangan Kawasan wisata pulau Komodo;
4.Menuntut pengakuan hak hak masyarakat atas tanah dan rumah milik warga di pulau Komodo;
5.Hentikan pembangunan Jurassic Park di Pulau Rinca;
6.Kembalikan tanah masyarakat Adat Pubabu, Besiape Kabupaten Timor tengah Selatan
7.Hentikan proyek pembangunan wisata Awololong lembata;
8.Menyerukan persatuan rakyat untuk melawan segala bentuk perampasan tanah di Indonesia;
9.Bebaskan aktivis aktivis prodemokrasi yang ditangkap di seluruh Indonesia;
10.Hentikan Tindakan represifitas terhadap Gerakan rakyat; dan
11.Cabut Omnibus Law Cipta Kerja
Pantauan media meskipun diguyur hujan lebat, massa aksi tetap lantang menyuarakan aspirasinya terkait masifnya perampasan tanah dan ekspliotasi lahan di Nusa Tenggara Timur melalui skema pariwisata dan industri ekstraktif. Aksi unjuk rasa ini berjalan aman serta mendapat penjagaan ketat dari pihak kepolisian.(*Herry Kabut)