Zonalinenews-Kupang,- Budaya Patriarki sangat berpengaruh terhadap Pemilu Legislatif (Pileg) terutama terhadap rendahnya keterwakilan peremuan di dalam parlemen. Demikian pernyataan yang disampaikan pengamat politik Universitas Nusa Cendana Kupang , Balkis Soraya Tanof pada acara workshop keterpilihan caleg perempuan tingkat provinsi NTT dalam Pileg 2014, yang diselenggarakan, Bengkel APPeK, Kamis 12 Juni 21014 , di hotel Aston Kupang pukul 10.00 wita
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurutnya, sedikitnya perempuan yang terpilih dalam Pileg 9 April lalu disebabkan karena ketimpangan gender yang dalam konteks politik selalu mengorbankan kaum perempuan. Hal tersebut disebabkan budaya patriarki yang selalu menempatkan perempuan pada rana privat bukan pada rana publik seperti dalam berbagai aktivitas politik termasuk pencalonan sebagai anggota legislatif akibatnya perempuan tidak terpilih karena dipandang tidak mampu untuk duduk di kursi legislatif dan menjadi penyalur aspirasi masyarakat.
Selain itu kata Dia, peran partai politik untuk mendorong perempuan menang dalam Pileg masih sangat rendah hal tersebut terbukti dari pole rekrutman Caleg perempuan yang terkesan dadakan atau instan sekedar memenuhi parlemen resoult Undang-Undang kuota 30 persen dan hanya formalitas. “Parpol tidak pernah mengkaderkan perempuan yang memang siap didorong untuk menjadi anggota legislatif dan Parpol tidak memberikan biaya politik untuk Caleg perempuan sama seperti caleg laki-laki umumnya,” jelasnya.
Kendala lain kegagalan Caleg perempuan menurut Balkis Soraya, diantaranya keterbatasan ekonomi kaum perempuan, relasi sosial yang terbatas, serta kendala ideologis dan sosiologis yang memandang perempuan tidak pantas untuk terjun ke dunia politik. Sementara secara psikologis beban dan peran ganda perempuan dalam rumah tangga ditambah lagi aktivitas politik membuat Caleg perempuan kesulitan untuk menggalang dukungan.
“Bagi saya banyak perempuan yang terpilih di DPRD Kabupaten Belu karena telah memiliki basis dan modal kuat yang sudah ditanamkan sejak lama, sehingga memiliki identitas sosial. Bukan karena temporer dan dadakan sehingga tidak sanggup untuk menanam pencitraan dirinya. Kedepan perempuan harus lebih humanis egaliter dengan tidak memposisikan diri elitis dan seperti artis. Perempuan harus bangun komunikasi yang humanis dan egaliter dalam membangun relasi sosial dengan masyarakat atau pemilih demi meningkatkan keterwakilan perempuan di Parlemen,” jelasnya.
Semnatar itu Bengkel APPek, Laurens Sairani, dalam presentasenya menyampaikan, kecenderungan pemilih di NTT lebih pada pertimbangan figur bukan karena partai politik. Data bengkel APPeK menunjukkan hanya 11 persen pemilih yang memilih Parpol, 72 persen pilih laki-laki, dan 16 persen lebih pilih perempuan.
“Di sini figur menjadi sangat penting dalam menjatuhkan pilihan dan figur laki-laki yang jadi pilihan itu data hasil pemilu kemarin,” jelasnya.
Dari semua Caleg di NTT untuk Caleg DPRD provinsi katanya, hanya 0,80 persen Caleg perempuan yang terpilih atau 2,23 persen Caleg perempuan yang terpilih dari total Caleg DPRD provinsi yang perempuan . Data tersebut menunjukkan perempuan berada dalam posisi minoritas dalam komposisi keterwakilan di parlemen untuk 5 tahun ke depan dan kebijakan afirmasi quota 30 persen belum mampu merubah energy untuk mendongkrak peningkatan komposisi DPRD perempuan di NTT.
Lebih lanjut dikatakannya, Parpol tidak menentukan keterpilihan seseorang karena, lebih melihat figur bukan karena Parpol, ini menunjukkan Parpol tidak mampu mendorong preferensi keterpilihan seorang Caleg khusunya Caleg perempuan. Dari sampel yang diambil Bengkel APPeK di Belu dan Kupang, jelas Dia, Belu jauh lebih tinggi tingkat keterpilihan Caleg perempuan dibandingkan Kota Kupang. Perempuan Kota Kupang memilih laki-laki lebih tinggi dibandingan sesama kaum perempuan,sementara pemilih perempuan di Belu banyak memilih Caleg perempuan dibandingkan Caleg laki-laki.
“Alasan memilih Caleg perempuan karena faktor personal seperti relasi sosial dan personal, intensitas pertemuan, komunikasi, kenal atau tidaknya pemilih dengan Caleg. Jadi relasi lama dan intens jadi faktor yang penting untuk menentukan keterpilihan Caleg perempuan,”Pendekatan psikologi sosial lebih tinggi dari pada rasional Choice,” katanya.
Acara ini dihadiri perempuan dampingan bengkel APPeK, para Caleg perempuan yang tidak berhasil lolos dan caleg perempuan yang terpihih menjadi anggota DPRD. (*rusdy)